Gemuruh suara gendang yang dipukul enam orang di atas panggung pagi itu makin memeriahkan acara pembukaan Musyawarah Nasional Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (Munas GP Farmasi Indonesia) ke XV di Ballroom Trans Hotel, Bandung, 24 Oktober 2016. Iringan musik pendukung dari sound system pun membuat suasana makin riuh rendah menyambut dibukanya acara yang dihadiri tak kurang dri 700 para pelaku industri farmasi dari seluruh Indonesia itu.
Munas ke XV ini dibuka secara resmi oleh Dr. Maura Linda Sitanggang, Dirjen Farmasi dan Alat Kesehatan, mewakili Menteri Kesehatan RI Nila Djuwita F. Moeloek. Tema yang diusung kali ini adalah “Paradigma Baru dalam Proses Pengembangan Usaha Farmasi Nasionaluntuk Mewujudkan Kemandirian Usaha Farmasi sesuai Nawa Cita.”
Dalam sambutannya, yang dibacakan oleh Dr. Maura Linda Sitanggang, Menteri Kesehatan mengatakan industri farmasi merupakan industri yang sangat strategis untuk ketahanan bangsa dalam hal penyediaan obat-obatan.
Menurut Menkes, dalam rangka meningkatkan layanan kesehatan untuk masyarakat, saat ini pemerintah telah berupaya untuk menyediakan obat-obatan yang bermutu dan tejangkau bagi masyarakat. “Ketersediaan obat menjadi hal yang sangat penting dan mendasar untuk memenuhi kebutuhan layanan kesehatan masyarakat,” ujarnya.
Nila Moeloek menegaskan, untuk memberikan jaminan kesehatan yang baik untuk masyarakt, bukan hanya dengan memberikan layanan kesehatan saja, namun juga diperlukan keterlibatan industri farmsi untuk menjaga ketahanan Indonsia.
Saat ini, layanan kesehatan untuk masyarakat dinilai sudah cukup baik, karena sudah 70% kebutuhan obat-obatan bisa terpenuhi oleh industri obat-obatan dalam negeri. Sisanya, dipenuhi oleh obat-obatan impor yang merupakan inovasi obat-obatan yang belum bisa diproduksi di dalam ngeri.
“Hal ini menunjukkan bahwa industri farmasi dalam negeri sudah memiliki kemampuan untuk memenuhi kebtuhan obat nasional,” ujarnya.
Amerika Saja Masih Impor
Sementara itu, Ketua Umum GP Farmasi Indonesia (periode tahun 2012-2016) Johannes Setijono mengungkapkan, kalangan industri farmasi dalam negeri optimistis kemandirian pemenuhan bahan baku obat bisa terpenuhi, meski dalam waktu yang cukup lama.
Menurutnya, yang dimakasud dengan kemandirian di sini bukanlah kemandirian dalam pengertian Indonesia memiliki 100% industri bahan baku obat. Menurutnya, yang perlu diketahui, di dunia ini tidak ada satu negara pun yang memiliki 100% memiliki industri bahan baku obat sendiri. Hampir semua negara masing-masing produsennya adalah produsen global.
“Jadi kalau membangun industri bahan baku obat dan hanya untuk memenuhi kebutuhan pasar di Indonsia, maka masih belum bisa mencukupi. Harus dilakukan juga ekspor,” ujarnya.
Dia mencontohkan, Amerika saja yang dikatakan sebagai negara maju, 80% kebutuhan bahan baku obatnya masih impor. Negara ini hanya memproduksi sebagian kecil saja yang sangat penting –penting saja, karena Amerika memang kuat dalam daya saing yang diproduksi itu.
Demikian juga di Indonesia, menurut Johannes, kita tidak berpretensi akan membangun 100% industri bahan baku untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Kita akan memproduksi yang penting-penting sekali dan memiliki daya saing di tingkat internasional.
“Memang akan memakan waktu lama, karena untuk membuat satu jenis bahan baku saja, baru persiapannya bisa memakan waktu hingga empat tahun. Jadi kalau sekarang ini kita canangkan, mungkin baru empat tahun ke depan baru bisa kita mulai,” ujarnya.
Johannes mengatakan, saat ini sudah ada lima industri yang sudah mulai membangun untuk indsutri bahan baku obat dan diperkirakan baru akan selesai sekitar tahun 2019. (Abdul Kholis)